Langsung ke konten utama

Tantangan Instruktur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dalam Menjaga Pengkaderan Di Era Millenial

Tantangan Instruktur Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dalam Menjaga Pengkaderan Di Era Millenial.
                 Oleh : A. Humaeni Rizqi

Latihan Kader Himpunan Mahasiswa Islam (LK HMI) pada hakekatnya merupakan bentuk perkaderan HMI yang berorientasi pada pembentukan watak, pola pikir, visi, orientasi berwawasan ke-HMI-an yang paling dasar. Posisi dan peranan Latihan Kader adalah untuk meletakan dasar-dasar bagi setiap kader HMI agar siap mengemban amanah dan tanggungjawab guna membangun bangsa Indonesia di masa depan.
Pelatihan (training) di HMI sangat menentukan arah gerak dan dinamika para kader maupun organisasi, sehingga apabila pengelola atau penanggungjawab suatu training HMI salah dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan semangat dan juga gagasan dasarnya maka akan salah pula pengembangan bentuk-bentuk pembinaan berikutnya, baik pada up-grading maupu aktivitas.

Berkaitan pada persoalan-persoalan tersebut, dalam pelatihan di HMI, sangat dibutuhkan lembaga serta forum yang serius mencurahkan konsentrasi pemikiran pada pengembangan kualitas para pengelola latihan, kemampuan mengkonsep atau merumuskan maupun manajerial. Dari kesadaran tersebutlah, maka seorang instruktur yang terwadahai di Badan Pengelola Latihan (BPL) HMI dibentuk dan termaktub dalam Pendahuluan Pedoman Dasar BPL HMI, hasil kongres HMI XXVIII.

BPL HMI adalah badan pembantu HMI (pasal 2 PD BPL HMI) yang berkedudukan di tingkat Pengurus Besar HMI (PB HMI) dan juga berkedudukan di tingkat HMI Cabang (pasal 3 PD BPL HMI). Walau BPL hanya sebagai badan pembantu HMI, akan tetapi ia mempunyai tugas, wewenang dan tanggungjawab yang sangat sentral dan bertanggungjawab di HMI. Seperti yang disebutkan lembaga ini di setiap tingkatan harus mampu merumuskan suatu konsep pelatihan agar kader yang dihasilkan dari rahim perkaderan HMI berkualitas.
Secara tugasnya, BPL harus menyaipkan pengelola latihan atau sumber daya manusia atas permintaan pengurus HMI setingkat (PB HMI dan atau HMI Cabang). Selain menyiapkan SDM sebagai pengelola latihan, lembaga ini harus juga meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelola latihan dengan mengadakan forum-forum internal di lingkungan internal BPL HMI. Kemudian melakukan monitor dan evaluasi pelaksanaan latihan, membuat panduan pengelolaan training serta standarisasi pengelola training dan pengelolaan training. BPL juga harus memberikan informasi kepada pengurus HMI setingkat tentang perkembangan kualitas latihan.

Selanjutnya wewenang BPL dibagi berdasarkan tingkatan, pertama BPL di tingkat PB HMI memiliki kewenangan untuk menyiapkan pengelolaan pelatihan di tingkat nasional yang meliputi Latihan Kader III (LK III), Pusat Pendidikan dan Pelatihan (Pusdiklat), UP-Grading instruktur Nilai-Nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI) dan Up-Grading manajemen organisasi kepemimpinan. Sedangkan di tingkat Cabang memiliki wewenang untuk menyiapkan pengelolaan Latihan Kader I (LK I), Latihan Kader II (LK II) dan latihan-latihan ke-HMI-an lainnya.
Atas alasan-alasan yuridis, maka seorang instruktur menjadi sentral dari pertahan HMI dalam proses pengkaderan. BPL HMI tentunya di isi oleh instruktur yang sudah mengikuti pelatihan khusus untuk menjadi seorang instruktur. Dimana, seorang instruktur adalah suatu status yang sangat langka, dan hanya sedikit kader HMI yang mencapai dan sanggup komitmen menjadi instruktur. Secara praktiknya mereka adalah orang-orang yang sangat luas wawasannya. Jika tidak demikian, berarti statusnya seorang instruktur HMI hanya formalitas belaka.

Seorang instruktur menjadi tameng dalam merawat perkaderan HMI, saat ini seperti yang kita ketahui bahwa HMI diserang dari berbagai arah, dari berbagai sisi dan berbagai media. Misalnya dari sisi ideologi, banyak kader-kader kita mulai terpengaruh dengan aliran-aliran pemikiran yang menyesatkan. Seperti aliran sekulerisme, liberalisme, kapitalisme, komunisme, dan sebangnya. Aliran-aliran tersebutpun mempengaruhi pola pikir dan pola sikap kader-kader HMI.
Dari segi aktivitasnya, budaya, dan karakter misalnya, kader-kader kita mayoritas terpengaruh oleh budaya-budaya hedon, apatis, konsumerisme dan budaya negatif lainnya, yang sehingga membuat budaya-budaya intelektual di HMI semakin lama semakin menipis. Belum lagi kita jika melihat pada segmen keagamaannya, banyak sekali hari kader yang melalaikan perintah Tuhannya sendiri.

Untuk itu seorang instruktur melalui wadah BPL mempunyai tugas dan fungsi dalam ranah perkaderan menjadi benteng pertahanan dari hal-hal yang negatif seperti yang kita sebutkan tadi. Instruktur yang notabennya pengelola harus dapat meluruskan dan mensterilkan virus-virus ideologi yang masuk ke tubuh HMI. Dan BPL HMI terus menerus mengkaji dan membuat suatu pelatihan yang terencana, terukur, dan sistematis, dalam rangka mewujudkan kader-kader HMI yang berkualitas. Berkualitas dari segi agama (iman), berkualitas dari segi intelektual (ilmu) dan dapat mengaplikasikan ajaran-ajaran agama dan ilmu yang bermanfaat bagi orang banyak (umat), hal demikianlah yang disebutkan gerakan amal shaleh (amal kebaikan). Hal itu, mayoritas kita dapatkan dari medan training yang dikelola oleh BPL HMI.

Sebagai seorang instruktur atau sederajat juga dengan guru dalam cakup HMI, maka harus dibarengi berbagai macam kompetensi profesionalitas dalam melakukan pengelolaan. Pertama, seorang instruktur harus mempunyai kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi guru yang berkaitan dengan cara pengeloaan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran dan pemahaman terhadap peserta didik. Sehingga seroang guru dituntut untuk mempuyai pembelajaran yang aktif dan aktraktif. Kedua, kompetensi professional, yaitu kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan subtansi keilmuan tersebut. Ketiga, kompetensi keterampilan, yaitu kompetensi berupa sikap yang harus dimiliki oleh seorang guru. Kepribadian guru harus mencerminkan profesi yang diembannya. Maka seorang guru harus mencerminkan kepribadian disri yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Keempat, kompetensi sosial, yaitu kemampuan seorang guru untuk berjalan beriringan dengan masyarakat. Artinya dia harus mampu berkomunikasi dengan peserta didik, guru lainnya, wali murid dan warga di lingkungan sekolah. Jika seorang instruktur dalam HMI mampu mempunyai keempat kompetensi di atas, maka akan terwujud kader-kader HMI yang berkualitas dalam mencapai tujuan HMI.

Kiranya lembaga BPL HMI terus dapat eksis dan tetap menjaga diri dalam kesucian perkaderan HMI. Jangan sampai seorang instruktur terpengaruh oleh hal-hal sifatnya praktis dan tidak membangun HMI secara kualitas dan kuantitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mendengarkan dan Akhirnya Jatuh Cinta

"MENDENGARKAN DAN AKHIRNYA JATUH CINTA"                       Oleh: Aidil Fitri Perkenalan saya dengan HMI sudah terjadi sejak saya duduk di kursi SMA. Banyak saudara, tetangga, bahkan kerabat saya yang sedang kuliah menyebutkan dan menempelkan stiker HMI entah itu di jendela rumah, pintu kamar,  helm, cover buku, dan sebagainya. Sehingga membuat saya tidak begitu asing dengan logo HMI itu sendiri. Pernah waktu itu terlintas di pikiran saya "apasih itu HMI?, kenapa kok logonya kayak gitu? Kenapa orang2 pada pasang stiker HMI dimana-mana, dan kenapa banyak orang yang suka menyebutkan kata HMI? sebenarnya HMI itu apa?". Sampai pada akhirnya, saya menuangkan segala pertanyaan saya ke rekan dan saudara saya yang merupakan kader HMI. Lalu, tanpa kesengajaan mereka menjawab hal yang serupa, "Kalau mau tau jawabannya, kamu jadi mahasiswa terlebih dahulu, dan gabung sama saya di HMI. Biar paham." Jawaban yang sangat tidak membuat diri saya puas sama sekali.